Penelitian
MASHADIR SYAR`I DAN AL-ADILLAH SYAR`IYYAH DALAM PENETAPAN INDIKATOR WALI FASIK
XMLABSTRAK
Penelitian ini menjawab masalah metode ulama klasik memahami mashadir syar`i dan al-adillah syar`iyyah dalam penetapan indikator wali fasik. Ulama fiqh klasik memverifikasi bahwa, wali nikah harus adil, salih dan mursyid. Wali nikah fasik tidak sah melakukan akad nikah putrinya, sementara ulama fiqh modern berkesimpulan bahwa, adil bukan persyaratan yang melekat pada wali nikah, persyaratan adil melekat pada saksi. Wali nikah sah melakukan akad nikah, wali nikah tidak dapat dialihkan kepada pihak lain meskipun wali tersebut belum melaksanakan ajaran Islam secara kaffah. Rumusan masalah adalah; Bagaimana metode ulama klasik dalam memahami mashadir syar`iyyah dan al-adillah syar`iyyah dalam penetapan indikator wali fasik. Bagaimana konsep Pembaharuan kedudukan wali fasik dalam fiqh modern. Data yang digunakan ada dua, pertama data primer, diperoleh pada kitab-kitab fiqh klasik dan modern dari sejumlah perpustakaan. Kedua, data sekunder, diperoleh dari kamus bahasa Arab, Indonesia dan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Hadith yang menjadi rujukan dalil bagi ulama fiqh klasik (Syafi`i) menunjukkan tidak sahih dilihat dari metode kritik sejumlah isnad hadith. Syafi`i tidak menerima langsung hadith tersebut dari `Uthman bin Khusyim, tetapi diterima dari Muslim bin Khalid dan Sa`id bin Salim al-Qadah. Hadith riwayat Ahmad tidak menunjukkan wali harus adil dan salih atau mursyid. Kedua hadith di atas belum dapat dijadikan rujukan tentang penetapan indikator perumusan wali fasik tidak sah melakukan akad nikah. Pembaharuan kedudukan wali fasik dalam fiqh modern sah melakukan akad nikah. wali nikah tidak dipersyaratkan adil dan mursyid. Status wali nikah tetap berada pada wali nasab/qarabat yang telah mendapat legalitas syar`i tidak dapat dicabut atau dialihkan kepada pihak lain, meskipun ia belum mengamalkan Islam secara komprehensif. Jumhur ulama mengklarifikasi bahwa, wali tidak gugur hak perwalian pernikahan anak perempuannya lebih dekat kepada kebenaran, dan lebih maslahat. Kedua: nikah sah dengan ada bayyinah (keterangan bukti fisik), dan sejalan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat (2) ”tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku”.
Detail Information
Penulis |
Mahli Ismail - Personal Name
|
---|---|
NIP/NIDN/NIM | |
Edition | |
Language |
Indonesia
|
Publisher | IAIN Lhokseumawe : Lhokseumawe., 2015 |
Edition | |
Subject(s) | |
No Panggil |